Minggu, 08 Maret 2015

Wae Rebo


Letaknya tak terlihat dari keramaian dengan pegunungan hujan tropis dan lembah hijau yang mendekap hangat dusun ini. Adalah Wae Rebo, sebuah dusun yang menjadi satu-satunya tempat mempertahankan sisa arsitektur adat budaya Manggarai yang semakin hari semakin terancam ditinggalkan pengikutnya. Mengapa berbentuk kerucut dan dari mana asal muasalnya masih sebuah tanda tanya besar, kecuali secuil informasi dari tradisi penuturan masyarakatnya sendiri yang merupakan generasi ke-18.


Wae Rebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan Satarmese Barat, Desa Satar Lenda.  Di sini, satu desa dengan desa yang lainnya jauh terpisah lembah yang menganga di antara bukit-bukit yang berkerudung kabut di ujung pohonnya. Dusun Wae Rebo begitu terpencil sehingga warga desa di satu kecamatan masih banyak yang tak mengenal keberadaan dusun ini. Seperti Kampung Denge, desa terdekat ke Wae Rebo belum seutuhnya menjadi desa tetangga karena belum semua pernah ke Wae Rebo. Sementara warga Belanda, Perancis, Jerman, hingga Amerika dan beberapa negara Asia sudah sangat terperangah keindahan kampung yang rumahnya seperti payung berbahan daun lontar atau rumbia yang disebutmbaru niang.
Mbaru niang sudah punah sebelum memasuki awal tahun 70-an saat pemerintah mengkampanyekan perpindahan masyarakat pegunungan ke dataran rendah. Seorang antropolog, Catherine Allerton mengenang pembicaraannya dengan tu’a golo, pemimpin politik dan kepala kampung, juga tu’a gendang, kepala upacara adat. Warga Wae Rebo saat itu tak memutuskan meninggalkan dusunnya. Sudah generasi ke-18 hingga kini Wae Rebo bertahan dari seorang penghuni pertama dan pendiri Wae Rebo lebih dari 100 tahun lalu, Empo Maro.
Leluhur Wae Rebo, termasuk Empo Maro, mewariskan 7 buah rumah kerucut yang sangat menawan meskipun telah dimakan usia dan beberapa di antaranya telah rubuh dan belum dibina kembali. Sebuah yayasan dari Jakarta diberitakan telah memberikan bantuan pertanda kasih sayangnya pada keaslian Wae Rebo dengan mendirikan satu rumah yang sama bentuknya dan dinamakan Tirto Gena Ndorom, dimana Tirto adalah secuil kata dari nama yayasan donatur tadi.
Rumah yang disebut mbaru niang terdiri dari 5 tingkat yang semua ditutupi atap dan menjadi sebuah kerucut. Di tingkatpertamalutur, atau tenda adalah tempat tinggal penghuninya. Di tingkat kedualobo, atau loteng ialah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Tingkat ketigaialah lentar yang berfungsi menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam lainnya. Tingkat keempat ialah lempa rae, yaitu tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang akan sangat berguna saat panen dirasa kurang berhasil. Sedangkan tingkat kelimahekang kode, yaitu tempat menyimpan sesajian untuk para leluhur.
Di Wae Rebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang memiliki berbagai klan. Di sini hanya terdapat satu klan atau marga saja. Klan tersebut memiliki gendang pusaka di rumah gendang di tiang utamanya. Mereka memiliki pantangan untuk tidak makan satu binatang, yaitu musang. Dari penuturan tetua, leluhur mereka datang ke Wae Rebo dengan bertemankan seekor musang sehingga dipercayai bahwa musang adalah bagian dari leluhur mereka.


Berkembangnya penduduk Wae Rebo membuat keberadaan sebuah desa baru dirasakan harus dibina. Sebagian masyarakat Wae Rebo dibagi tempatnya dengan desa baru yang disebut Kombo. Tak banyak wisatawan mengetahuinya, walau Kombo dan Wae Rebo adalah masyarakat yang sama. Akan tetapi, karena lingkungannya dipertahankan sesuai aslinya, Wae Rebo seolah permata di atas lumpur. Kombo dipandang berbeda karena tidak berasal dari leluhur yang merintis keberadaan kampung itu.
Warga paruh baya dan anak-anak sekolah tinggal di Kombo, sedangkan orang tua dari para pria muda serta belasan tahun yang menginjak dewasa tinggal di Wae Rebo. Mereka semua memiliki kepercayaan yang sama. Katolik adalah agama yang dipeluk masyarakatnya, walau kepercayaan animisme masih kental terasa dalam kehidupan mereka.
Mereka yakin bahwa tanah atau hutan memiliki emosi dan perasaan. Sebelum bercocok tanam dan mencangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan untuk meminta izin pada penunggunya. Bila tak berizin maka tanah akan menjerit dan merintih. Bercocok tanam pun harus rutin agar tanah tidak ‘menangis’ sedih. Warga Wae Rebo memandang tanah sebagai bagian dari mereka dan seperti manusia yang harus dihormati.
Di tengah dusun terdapat panggung batu yang dikisahkan telah dibina atas bantuan penunggu hutan yang berupa manusia gagah menawan yang mampu mengangkat batu besar dengan satu tangan. Masing-masing tangan dan kaki penunggu hutan ini memiliki jari berjumlah enam. Rambutnya dikisahkan sangat panjang dan parasnya cantik rupawan. Setelah panggung ini selesai, tarian cacidigelar dan juga tabuhan gendang dilaksanakan (mbata).
Dari Ruteng, perjalanan dengan kendaraan selama 4 jam yang berkelok sehingga penumpang tak henti bergoyang. Sampailah di sebuah desa pesisir bernama Dintor. Jalan terus dilanjutkan menuju tanjakan ke pedalaman pulau menempuh pematang sawah dan jalan setapak di Sebu sebelum sampai di Denge. Dari Denge langkah terus dihentakkan melalui hutan kecil, melalui Sungai Wae Lomba. Setelah mengatur kerja paru-paru di sepanjang jalan setapak, dari Ponto Nao, terlihat pusat Wae Rebo, sebuah dusun yang mengepul asap dari kerucut-kerucut aneh yang berkumpul di sebuah lapang hijau. Itulah sisa-sia mbaru niang yang hampir punah.
Perjalanan panjang menuju dusun ini membuat masyarakatnya sedikit terasing dari peradaban, terutama pendidikan dan kesehatan. Seorang anak bahkan dewasa dirata-ratakan telah berjalan kaki selama 4 jam sekali keluar dari dusunnya dan kembali membawa sesuatu seberat 15 kilogram untuk dijadikan bahan makanan cadangan karena terbatas sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Dalam satu tahun, diperhitungkan seorang anak akan membawa barang dengan total berat hingga 2 ton.
Tiba di dusun ini, sambutan hangat adalah sebuah keniscayaan. Ubi, talas, dan jagung akan disajikan termasuk daging ayam. Menginap di sana seperti sebuah mimpi berhari-hari. Ada kesan khusus dan tak akan tergantikan oleh perjalanan apapun, karena memang hanya satu kali pengalaman ini terjadi di Wae Rebo. Di sini semua berawal, dan akan terus berlanjut sebagai tanah tumpah darah warga Wae Rebo yang disebutkan dalam bahasa daerah sebagai Neka hemong kuni agu kalo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar